Seberapa Islamikah Kita?
Mengapa New Zealand Negara paling Islami Sedunia?
Syaikh Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap
dunia barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang. Kepada Renan,
filsuf Perancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu
hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dll. Dengan ringan Renan, yang
juga pengamat dunia timur tengah mengatakan (kira-kira begini katanya),
“Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran. Tapi
tolong tunjukan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan
kehebatan ajaran Islam”. Abduh terdiam.
Satu abad kemudian
beberapa periset dari George Washington University ingin membuktikan
tantangan Renan. Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur
Islam, seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan,
ketapatan waktu, empati, toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta
akhlaq Rasulullah Saw. Bebekal sederet indikator yang mereka sebut
sebagai islamicity index mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk
mengukur seberapara islami negara-negara tersebut. Hasilnya? New Zealand
dinobatkan sebagai negara paling Islami. Indonesia? Harus puas di
urutan ke 140. Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang
kebanyakan bertengger di rangking 100-200.
Apa itu islam?
Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami? Kebanyakan
ayat dan hadis menjelaskan Islam dengan menunjukkan
indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadis yang yang
menjelaskan bahwa “Seorang Muslim adalah orang yang disekitarnya selamat
dari tangan dan lisannya” itu indikator. Atau hadis yang berbunyi,
“Keutamaan Islam seseorang adalah yang meninggalkan yang tak
bermanfaat”. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hormati tetangga ... hormati tamu ... bicara yang baik atau diam”.
Jika kita koleksi sejumlah hadis yang menjelaskan tentang islam dan
iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang
yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara.
Dengan
indikator-indikator di atas tak heran ketika Muhamamd Abduh melawat ke
Perancis akhirnya dia berkomentar, “Saya tidak melihat Muslim di sini,
tapi merasakan (nilai-nilai) Islam, sebalikanya di Mesir saya melihat
begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam”.
Pengalaman
serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada
yang merupakan negara paling islami no 5. Beliau heran melihat penduduk
disa sana yang tak pernah mengunici pintu rumahnya. Saat salah seorang
penduduk diatanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya, “mengapa
harus dikunci?” Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan
ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah
beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi
yang tak berubah. Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di
negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang
maha melihat. Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan
aman. Artinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa
aman. Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman.
Tetapi kita merasa tidak aman di tengah orang-orang yang (mengaku)
beriman.
Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah
kepada seorang Indonesia yang menyebrang saat lampu penyebrang masih
merah. “Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan, hari
ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan,
dan saya khawatir dia akan meniru Anda”. Sangat kontras dengan sebuah
video di Youtube yang menayangkan seorang bapak-bapak di jakarta dengan
pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm. Ketika ditangkap polisi
karena melanggar, si bapak tersebut malah marah dengan menyebut-nyebut
bahwa dirinya habib.
Mengapa kontradiksi ini terjadi? Syaikh
Basuni ulama Kalimantasn pernah berkirim surat kepada Muhamamd Rashid
Ridha ulama terkemuda dari Mesir. Suratnya berisi pertanyaan: “Limadza
taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum?”, mengapa muslim terbelakang
dan umat yang lain maju? Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan
satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari
jawaban Rasyid Ridho, islam mundur karena meninggalkan ajarannya,
sementara barat maju karena meninggalkan ajarannya.
Umat islam
terbelakang karena meninggalkan ajaran iqra, cinta ilmu dan budaya baca,
sehingga indonesia menempati uruata 111 dalam index membacanya. Muslim
meninggalkan budaya disiplin dan amanah, tak heran negara-begara Muslim
terpuruk di kategori low trust society yang masyarakatnya sulit
dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias sellau penuh curiga.
Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu
jangan heran jika kita mehat mobil-mobil mewah di kota-kota besar
tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Siapa yang salah? Mungkin yang salah yang membuat survey. Seandainya
keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya pastilah
Indonesia ada di ranking pertama.
sumber : paman
No comments:
Post a Comment